Thursday, 31 March 2011
Lihat, Renung, Fikir...
Dah lame tak jumpe Amira dan Umi.^_^ Pagi tu, mira sangat comel, umi baru selesai mandikan mira. Hehe…anak kecil yang berusia 1 tahun 6 bulan tu sangat aktif. Lari sane, lari sini. Penat berlari, mira hulurkan tangan minta didukung. Hehehe…
Sebelah tangan dukung mira, sebelah tangan dukung teddy bear mira. Dua-dua sama besar. Hehe..eh, tak2. Teddy bear mira besar sikit dari mira. ^_^ mira sangat suke teddy bear. Mira peluk teddy bear kuat2. Comelnye…kitorang pun nyanyi lagu ‘Twinkle-twinkle Little Star’ untuk mira. Huhu..da lame tak nyanyi lagu tu..mase kecik-kecik pun tak sempat hafal habis lagu tu, sbb Cg.Taski tak ajar.nge3…
Mira, si kecik yang baru pandai bercakap ‘abah’ tu, macam nak ikut kitorang nyanyi…tp kejap je, lepas tu die da bosan.aiyoo….kitorang menung…nk nyanyi ape lg? ‘baba black ship’ pon da nyanyi…mira peluk teddy bear die, sambil senyum tengok kitorang. Entah2 die cakap dalam hati, “isy3..aunty 2 orang ni nk nyanyi lagu ape lg ni…?aku da penat. Tp senyum je supaya diorg x kecik hati…”
~pandainye mira cakap dalam hati.
Tibe2…tergerak dalam hati nak ucap sesuatu. Serentak dengan Cik Nab…”La Ilaha Illallah…La Ilaha Illallah…La Ilaha Illallah…Muhammadur Rasulullah..ya Zal-Jalali wal-Ikrom..ya Zal-Jalali wal-Ikrom..ya Zal-Jalali Wal-Ikrom..Amitna ‘ala Dinnil-islam…”
Subhanallah..subhanallah…subhanallah…mira termenung..wajah suci itu seolah sedang menghayati setiap bait kata yang didengar. Tak lama kemudian, mira cube sebut apa yang kami alunkan. ^_^ satu perkataan yang agak jelas didengar…”…..Muhammad…”
Maha Suci Allah…lepas ni tak nak nyanyi ‘Twinkle2” lg…”baba Blackship” pon tak mau…Peristiwa bersama Amira, bagiku ada sesuatu yang Allah nak kami ambil pengajaran. Take note, Su!
Dalam tempoh beberapa minggu ni, beberapa buah buku yang sempat ditelaah, banyak yang terkesan di hati ni adalah mengenai ‘fitrah manusia’. Sesuatu yang bertepatan dengan tuntutan fitrah manusia itu, inshaAllah akan bertahan. Manakala sesuatu yang tak menepati tuntutan fitrah itu tak kan kekal lama.
Kadang kite merasakan lagu-lagu yang membuai jiwa itu menenangkan. Tp cube tengok berapa lama kita mampu stick on that music tanpa ubah kepada irama lain. Kalu nak mula mendengar alunan ayat2 Al-Quran agak susah, kan? Nak click on the button of The Holy Quran sangat berat nak tekan jari…tp, ayat2 suci tu tak pernah buat telinga kita rase lali, tekak rasa loya, n hati rasa bosan, kan?
Kenapa? Sbb nature kita, manusia nak kan kepada ayat2 Allah. Tp kite selalu tertipu.
Solusi..? masing2 buat sendiri..yea..? (@_@)
wallahua'lam.
Monday, 28 March 2011
Monday, 21 March 2011
Baru-baru ni...kitorg usrah ttg Sabar dalam Musibah.
Thursday, 17 March 2011
Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam
Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?
A. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi WaSallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.”(Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘AlaihiWa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :
“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘AlaihiWa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :
Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.
Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.
Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
B. Kriteria Memilih Calon Suami
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamyaitu :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Wednesday, 9 March 2011
MEMBEZAKAN HADIAH & RASUAH
http://drmaza.com/home/?p=1199
Soalan: Kepada Dr Asri, saya berniaga tender kerajaan dan ingin memohon penjelasan Dr. Apakah perbezaan diantara rasuah dan hadiah? Kadang kala syarikat saya menghadiahkan sesuatu kepada pegawai yg terbabit sebagai tanda terima kasih walaupun hadiah itu tidak diminta oleh pegawai berkenaan. Adakah ini rasuah atau hadiah? Bagaimana pula jika memberi hamper sempena hari raya? Saya rasa macam kadang kala kita menyembunyikan rasuah dengan perkataan pemberian ikhlas. Harap Dr tolong huraikan.
Farid Ahmad, KL
Jawapan Dr MAZA: Sikap saudara yang berhati-hati tentang urusan rezeki atau sumber pendapatan dalam kehidupan ini amatlah dipuji. Ini satu tanda adanya nilai kesolehan dalam jiwa. Malang sekali di zaman kini, ramai yang kurang peduli soal halal dan haram hasil pendapatan yang diperolehinya. Soalan saudara asasnya mengenai perbezaan antara hadiah dan rasuah. Persoalan ini dibincang oleh para ulama sejak dahulu kerana bab ini sering disalahgunakan. Ramai yang mengambil kesempatan dengan permainan istilah yang seperti ini. Ada yang cuma menghalalkan rasuah dengan diberi nama hadiah. Saya jawab berdasarkan noktah-noktah berikut:
1. Adanya perbezaan antara rasuah dan hadiah. Rasuah adalah pemberian samada dalam bentuk harta atau manfaat tertentu yang bertujuan untuk memperolehi sesuatu yang bukan haknya, atau menzalimi hak pihak lain. Dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwitiyyah ditakrifkan
“apa yang diberikan dengan tujuan memalsukan kebenaran dan membenarkan kepalsuan”. (lihat:, 22/220)
Adapun hadiah adalah pemberian atas sebab suka atau sayang tanpa sebarang tuntutan atau ganjaran balas yang disyaratkan. Al-Imam al-Mawardi merumuskan “rasuah apa yang diberikan kerana menuntut sesuatu, hadiah pula apa yang disumbang tanpa sebarang balasan”. Ertinya, pemberi rasuah mengharapkan sesuatu balasan yang dia tidak dapat memperolehinya tanpa sogokan tersebut. Dengan pemberian tersebut menyebabkan ada pihak lain yang dizalimi haknya; samada dihilangkan, atau dikurang, atau dilambat atau aka nada pihak yang dikenakan suatu tindakan yang tidak adil. Maka, rasuah merupakan pemberian bersyarat, sementara hadiah bukan pemberian bersyarat dan tidak menyebabkan kezaliman kepada pihak lain. Rasuah dikeji oleh Islam, sementara hadiah digalakkan.
2. Berdasarkan kepada penjelasan di atas, maka orang yang paling dapat mengesan sesuatu pemberian itu rasuah atau hadiah ialah pemberi itu sendiri. Hanya dia yang tahu bagi setiap pemberian yang dihulurkan. Adakah dia mengharapkan sesuatu pada masa tersebut, atau pada masa hadapan dari pihak yang diberikan, sedangkan apa yang harapkan itu dia tidak layak memperolehinya sedemikian rupa?
Selepas itu, pihak yang mengambil juga amat mengetahui bahawa pemberian itu memberikan kesan kepada urusannya atau tidak. Adakah pemberian tersebut akan menyebabkan dia terasa untuk akan membalas ‘budi’pihak berkenaan dengan memberikan kepadanya apa yang bukan haknya, atau menzalimi hak orang lain?
Sabda Nabi s.a.w:
“Sesungguhnya setiap amalan itu dengan niat” (Riwayat al-Bukhari).
Juga sabda Nabi s.a.w:
“Kebaikan itu apa yang menenangkan jiwa, sementara kejahatan itu keraguan dalam jantung hati, teragak-agak di dada sekalipun manusia memberi fatwa kepadamu ( ianya baik)” (Riwayat Ahmad dan al-Darimi dengan sanad yang hasan).
Ertinya, sekalipun jika ada yang berfatwa untuk menghalalkan yang salah, nmun jiwa mukmin yang ikhlas akan tetap teragak-agak dan ragu mengenainya. Justeru, jika pemberi dan penerima mempunyai perasaan takutkan azab Allah, mereka sendiri dapat memutus apakah nilai pemberian yang diberi atau diterima tersebut.
3. Ertinya, jika pemberian itu atas dasar persahabatan yang tiada kaitan sama sekali dengan jawatan dan kedudukan yang dipegang, maka itu adalah hadiah. Jika ia diberikan kerana jawatan dan kedudukan yang boleh memutuskan sesuatu hak, maka itu adalah rasuah. Perkara ini pernah diingatkan oleh Nabi s.a.w mengenai pegawai atau petugas kerajaan yang mengambil hadiah yang kononnya diberikan kepada mereka. Sabda Nabi s.a.w:
“Apa jadi dengan pegawai yang kita utuskan, kemudian pulang dan berkata: “Ini bahagian kamu, ini bahagian aku. Silakan dia duduk di rumah ayah dan ibunya, lalu tunggu adakah akan diberikan hadiah kepadanya atau tidak?! Demi Allah, dia (pegawai berkenaan) tidak mengambil sesuatu melainkan pada Hari Kiamat nanti dia akan menanggung pemberian itu atas tengkoknya.” (Riwayat al-Bukhari).
Maka, seseorang penguasa atau pegawai atau petugas hendaklah merenung dirinya, pemberian yang diberikan kepadanya itu mempunyai kaitan dengan jawatan yang dipegangnya atau tidak. Jika ada kaitan yang akan mempengaruhi tindakannya atau akan mengganggu keadilan atau amanahnya, maka itu adalah rasuah. Kesan itu samada secara langsung atau secara tidak langsung. Jika pemberian itu atas dasar sahabat dan kenalan, ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa, dan tiada ruang untuk penyalahgunaan kuasa maka ia dinamakan hadiah. Ini seperti kita memberikan hadiah kepada sahabat kita sekalipun dia seorang pegawai besar dalam sesuatu urusan. Namun pemberian itu bukan kerana atau untuk penyalahgunaan kuasa maka itu dianggap hadiah.
4. Rasuah boleh muncul dalam berbagai bentuk; samada harta atau manfaat tertentu yang diberi atau dijanjikan. Juga dengan rasuah hak pihak lain itu boleh dicemari atau dizalimi dalam pelbagai cara. Ini seperti pemberian itu akan menyebabkan disegerakan urusan kita, sehingga menyebabkan terlewatnya urusan pihak lain. Atau jika dalam bentuk persaingan tender seperti zaman sekarang, pemberian rasuah boleh menafikan hak pihak lain untuk dinilai, atau menghapuskan persaingan yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Rasuah juga boleh menzalimi majikan seperti pegawai mengabaikan kualiti kerja disebabkan habuan yang disuap. Juga rasuah juga boleh menyebabkan ada pihak yang akan dihukum secara tidak adil. Firman Allah: (maksudnya)
“dan janganlah kamu makan (mengambil) harta antara kamu dengan cara yang batil, dan jangan pula kamu menghulurkan harta kamu (memberi rasuah) kepada hakim-hakim kerana hendak memakan (atau mengambil) sebahagian dari harta manusia dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (salahnya)” (Surah al-Baqarah, ayat 188)
5. Rasuah atas nama hadiah boleh merosakkan rakyat dan negara. Lihat sahaja negara seperti Mesir yang setiap kerja yang sepatutnya berjalan dengan baik terbengkalai kerana setiap urusan akan menuntut wang saguhati atau tips. Bermula dari driver bas di Airport Kaherah sehinggalah ke pihak-pihak yang lebih atas. Apabila keadaan ini berlaku orang miskin susah hendak berurusan kerana mereka tidak mampu memberikan ‘hadiah’ kepada pegawai-pegawai yang bertugas. Kualiti kerja menjadi rosak. Perasaan tanggungjawab terhadap tugas diukur dengan hadiah yang pernah diberikan atau yang akan diberikan. Maka rasuah merangkumi kesalahan berbohong dan khianat.
6. Adapun pemberian untuk mengelakkan kezaliman seperti memberikan suapan kepada sesuatu pihak bagi melepaskan diri dari kezaliman atau memperolehi hak yang sepatutnya. Ini seperti merasuah petugas kepada penguasa yang zalim demi melepas sesuatu kezaliman kepada diri sendiri atau pihak tertentu, atau mengembalikan sesuatu hak yang diambil dengan cara yang zalim, maka Dr. Al-Qaradawi berpendapat bahawa jika keadaan seperti itu berlaku, seseorang hendaklah berusaha dengan cara yang tidak merasuah sesiapa. Namun jika tiada jalan dan terpaksa, maka dosa tersebut ditanggung oleh pihak yang mengambilnya, tidak atas pihak yang memberikan suapan tersebut (lihat: al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, m.s 300, Beirut: al-Maktab al-Islami).
7. Perbuatan rasuah adalah dosa yang besar. Sabda Nabi s.a.w:
“Allah melaknat pemberi rasuah dan penerimanya” (Riwayat al-Tirmizi dan Ibn Majah, dinilai sahih oleh al-Albani).
Apa tidaknya, rasuah boleh meruntuh keseluruhan sistem keadilan dalam sesebuah masyarakat. Kata Saidina Ali bin Abi Talib:
“Sesungguhnya binasanya manusia terdahulu kerana mereka menghalang kebenaran sehingga ianya dibeli. Mereka membentangkan kezaliman sehingga ianya ditebus”. (Ibn Muflih, Al-Adab al-Syar‘iyyah, 1/201. Beirut: Muasasah al-Risalah).
8. Hadiah yang ikhlas adalah digalakkan oleh Islam. Sabda Nabi s.a.w:
“Berilah hadiah nanti kamu akan sayang menyayangi” (Riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
Ya, hadiah yang jujur kepada sahabat atau bakal pasangan hidup akan menimbul kenangan dan ingatan. Kasih-sayang tanpa kepentingan itu amat tinggi nilainya dalam kehidupan insan. Hadiah satu jalan mengeratkan hubungan antara kita atas kejujuran dan keikhlasan jiwa.